Tuesday, March 13, 2007

Pribumi Pandai, Indonesiaku Bebas Korupsi

 
“Apa yang mempersatukan kita dari sabang sampai merauke, jawab yang sinis menyatakan bahwa Indonesia dari barat sampai timur disatukan oleh korupsi”.
Ini adalah guyonan yang pernah saya baca di sebuah artikel. Mungkin terkesan seperti plesetan namun bisa kita rasakan keberadaannya, bahwa rantai korupsi telah menjadi pemersatu Indonesia. Hampir di setiap media informasi tidak luput untuk pemberitaan korupsi negeri ini. Korupsi menjadi tren masa kini, kalau meminjam bahasa anak sekarang, Kalau ndak korupsi ndak gaul “. Para pejabat mulai tebal muka, entah kepingin ngetren masuk di TV, sekedar cari sensasi atau kepingin merasakan indahnya surga penjara seperti apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, mereka pun akhirnya menjerumuskan diri dalam lembah korupsi. Tangkap satu tumbuh seribu itulah yang terjadi saat ini. Pengungkapan kasus korupsi memberikan inspirasi untuk mencipta trik baru. Catat saja pemberitaan ICW mengenai modus baru korupsi di DPRD, pada pemberitaan tersebut dijelaskan dengan berbagai dalih DPRD membuat peraturan daerah untuk memayungi tindakan korupsinya. Tidak hanya terbatas pada hal tersebut, ada anggota DPRD terlibat dalam permainan pengadaan atau lelang atau tender pengadaan barang barang atau jasa. Ini menunjukan betapa terampilnya anggota DPRD kita sehingga mampu membuat software converter hukum, ilegal menjadi legal namun tidak sebaliknya.

Kalau berbicara mengenai korupsi, pasti masyarakat yang dirugikan. Namun kita justru sering kali mendengar respon dari masyarakat datar – datar saja, seakan – akan mereka tidak merasa dirugikan. Bahkan sebagian masyarakat menganggap hal tersebut lumrah. Masyarakat tidak mau dipusingkan, bagi mereka yang penting urusannya beres itu sudah cukup. Catat saja, ketika masyarakat meminta tanda tangan perangkat ataupun stempel pengesahan dari desa mereka dimintai uang jasa untuk kas desa yang pada dasarnya hal tersebut tidak diperbolehkan menurut UU No 32 Tahun 2004, tapi mereka pun tidak mau ambil pusing dengan hal itu bagi mereka asal urusan beres itu sudah cukup. Tapi lain cerita di saat ada maling ayam tertangkap. Mereka beramai – ramai menghujat dan melontarkan sumpah serapah. Sang empunya anak ataupun saudara tersebut akan menghajar habis – habisan karena dinilai mencemarkan nama keluarga. Mereka setuju apabila kita mengatakan bahwa apa yang mereka makan dari hasil mencuri tersebut haram. Lantas apa penyabab hal tersebut ?. Karena sebagian masyarakat kurang terdidik dan mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai korupsi. Masyarakat lebih banyak belajar dari adat istiadat daerahnya. Mereka lebih mengerti bahwa maling itu perbuatan yang dilarang dari pada bahaya korupsi. Karena jelas adat istiadat negeri ini mengajarkan bahwa maling itu hina. Tidak ada adat istiadat yang menjelaskan korupsi. Sebagian besar masyarakat kita tidak pernah menyadari dan dididik bahwa uang yang dicuri koruptor itu adalah uang mereka juga dan ada haknya yang hilang akibat perbuatan korupsi dari oknum tersebut. Apabila ada warga yang ingin memberikan pengertian akan bahaya korupsi sering kali ditertawakan dan dianggap aneh. Serta dianggap sok tau, sok suci bahkan tidak segan – segan mereka memberikan penghargaan sebagai pahlawan kesiangan.

Kondisi sosial sebagian besar masyarakat masih kental dengan adat daerahnya. Mereka sering mengaitkan kekayaan dengan mitos tahyul, seperti kekayaan Pak A itu didapatkan karena minta pesugihan, atau karena memelihara tuyul. Hal tersebut lahir karena secara akal kekayaan tersebut sulit untuk didapatkan Pak A. Mereka juga kagum dengan pencuri bermuka pelayan masyarakat dan dengan bersemangat mereka mengatakan Pak B sekarang jadi orang sukses di lingkungan kita, kita harus berbangga kerena hal tersebut. Mereka lebih melihat Pak B sebagai sosok pelayan masyarakat ketimbang berpikir dari mana uang yang didapat Pak B.
Sungguh realita menyedihkan dalam kehidupan sebagian masyarakat kita yang awam tentang korupsi, bahwa mereka tidak menyadari korupsi telah merugikan semua pihak, tidak hanya diri mereka sekarang namun juga anak cucunya kelak. Siapakah yang harus bertanggung jawab ? adat istiadat, pemerintah ataukah kita, kaum munafik yang hanya pandai berbicara lewat tulisan tanpa ada tindakan nyata.
Soekarno pernah mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Oleh karena itu, mari kita kenang sejenak sejarah bangsa ini dan lepaskan diri dari pikiran korupsi. Pasti semua rakyat negeri ini apabila ditanya kapan Indonesia merdeka, mereka semua akan menjawab sama. Tapi pernahkah kita bertanya untuk apa Indonesia merdeka ? dan ada apa pada tanggal 17 Agustus 1945 ?. Inilah yang tidak diajarkan dalam sistem pendidikan kita.”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...’’. Beberapa penggalan kalimat pembukaan UUD 1945 kiranya dapat menjawab pertanyaan kita tadi. Istilah mencerdaskan kehidupan bangsa telah dijadikan cita – cita saat bangsa ini memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Para pemimpin bangsa saat itu, catat saja syahrir, soekarno, hatta, setuju kalimat tersebut merupakan cita – cita bangsa indonesia ke depan. Kini setelah 62 tahun merdeka cita – cita tersebut masih tetap menjadi cita – cita. Apa yang menjadi harapan founding father bangsa ini belumlah sepenuhnya terwujud. Tanggung jawab Bangsa Indonesia dalam mengemban amanat, menjadikan bangsa sekarang merupakan Bangsa Indonesia 62 tahun silam, karena apa yang menjadi tujuan bangsa Indonesia 62 tahun silam juga merupakan tujuan bangsa Indonesia yang sekarang. Kecerdasan kehidupan bangsa masihlah belum terwujud sepenuhnya.

Cukup sudah bangsa ini bercita – cita. Kini saatnya Bangsa Indonesia mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas. Dengan tatanan kehidupan masyarakat yang cerdas maka korupsi dengan sendirinya akan dilenyapkan, bukan lagi oleh pemerintah melainkan masyarakat yang akan membasminya. Dengan demikian pemerintah harus aktif memberikan penyuluhan – penyuluhan kepada masyarakat dari kelas atas sampai kelas petani, tanpa hal ini adalah suatu omong kosong apabila pemerintah mampu memberantas korupsi. Catat saja ada berapa banyak tindakan pemerintah yang sudah dilakukan saat ini mulai dari pembentukan KPK, Ketetapan – ketetapan yang mengatur korupsi hingga sampai seminar ataupun diaolog interaktif. Belum lagi ditambah dengan buah pemikiran dari para ahli dan pakar berbagai disiplin ilmu yang diajukan dalam memberantas korupsi di negara ini. Lantas kenapa itu tidak dapat memberantas Korupsi ? Karena apa yang disentuh pemerintah sampai saat ini masih ada pada tingkat atas, kalaupun menyentuh level bawah itupun hanya kecil sekali prosentasenya. Seperti Seminar – seminar yang sering diadakan sebagai upaya penyuluhan akan pentingnya pemberantasan korupsi. Dari sekilas nampak sebuah langkah yang tepat, namun patut disayangkan ketika seminar tesebut seringkali diadakan di Hotel berbintang, lalu gimana rakyat mau datang? Media informasi sebut saja koran hanya memberitakan tentang siapa yang korupsi dan apa yang dikorupsi, sedang televisi asyik dengan sinetron yang menunjukan gaya hedonisme. Pemerintah sibuk membentuk Peraturan Pemerintah yang kontroversial sebagai trik dalam pencitraan kinerja pemerintah. Gimana korupsi mau dibasmi kalau begini ceritanya ?.

Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya pemerintah meningkatkan peran serta masyarakat kelas bawah dalam pemberantasan korupsi. Sudah saatnya semua rakyat di negeri ini diberikan pendidikan dan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan – perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum – oknum tertentu. Untuk mewujudkan hal ini, pertama pemerintah harus aktif dalam memberikan penyuluhan sampai tingkat pedesaan. Dengan memberikan penyuluhan – penyuluhan diharapkan masyarakat terutama kalas bawah paham apa itu korupsi. Masyarakat bawah akan menyadari bahwa korupsi telah merugikan semua pihak dan korurtor telah menyengsarakan hidup mereka. Dengan begitu pemberantasan korupsi dapat dicapai hingga level pedesaan. Memang dari segi besaran kerugian tidak sebesar korupsi ditingkat pusat ataupun pada tingkat kabupaten. Namun korupsi pada tingkat pedesaan akan berdampak pada stagnasi sistem pembangunan desa selain itu juga dapat menggagalkan program - program yang telah dicanangkan pemerintah yang pada akhirnya merugikan banyak elemen, seperti korupsi Dana BOS yang menyebabkan program pendidikan murah tidak ada kenyataanya. Dari segi masyarakat jelas mereka dirugikan, karena apa yang menjadi haknya tidak dapat diperoleh. Pemerintah dalam hal ini juga dirugikan, sebab tujuan yang ingin dicapai tidak terwujud. Artinya pemerintah harus menanggung beban yang sama untuk program pendidikan kedepannya, padahal jika program tersebut lancar setidaknya tanggungan pemerintah kedepannya lebih ringan.

Kedua, sebaiknya pemerintah melakukan perubahan istilah kata korupsi diganti dengan kata mencuri uang seperti apa yang pernah diusulkan oleh seorang penulis. Seorang pengamat, Dhoni Handoko pernah mengulas Wit & Dr. Erhans dalam kaitannya dengan perubahan istilah. Dalam tulisanya tersebut di katakan menurut Wit & Dr. Erhans dalam sebuah bukunya karangannya 'American International Business Letters' hanya sedikit penonton bioskop yang lari ke pintu keluar bila ada yang berteriak “Conflagration!”(kebakaran) dibanding yang diteriakan adalah “Fire!”. Wit & Dr. Erhans membandingkan dua buah kata yang mempunyai persamaan arti, namun memiliki perbedaan dalam segi psikologis. Jika merujuk teori ini memang benar, kata mencuri uang lebih mempunyai dampak psikologis yang besar bagi masyarakat negeri ini ketimbang kata korupsi. Karena kata mencuri uang sudah ada dalam kamus tata bahasa adat – istiadat masyarakat. Kata ini sama arti dengan maling uang, dimanapun daerah di negara kita ini, yang namanya maling tetap saja mempunyai arti perbuatan hina. Dengan begitu para oknum pelaku korupsi akan menanggung malu atas perbuatannya. Bahkan ini akan menimbulkan efek jera bagi mereka yang akan melakukan perbuatan korupsi sebab selama ini penjara belum mampu mewujudkan hal tersebut.

Ketiga, memperbaiki sistem birokrasi. Sering kali masyarakat mengetahui adanya korupsi, tetapi tidak tau harus melapor kemana dan juga kepada siapa, juga ketakutan akan dijadikan saksi yang bakal merepotkan dirinya. Bahkan tidak jarang ada pertanyaan – pertanyaan yang terkesan menakut – nakuti saksi. “Apakah bapak tahu benar kejadiannya ? karena apabila bapak salah memberikan informasi bapak dapat dituntut atas dasar pencemaran nama baik”. Tidak lagi ketakutan yang diterima saksi, barang kali saksi lansung mencabut pernyataannya tersebut. Oleh karena itu perlu dipikirkan agar adanya akses langsung dari masyarakat luas kepada pihak yang betul – betul dapat menjamin dan melindungi pelapor, juga menindak lanjuti laporan tersebut. Selain itu kita semua harus membuang jauh – jauh pertanyaan diatas, sehingga kita ikut berperan dalam menciptakan sikap tanggap masyarakat terhadap perilaku korupsi.

Keempat, dengan meningkatkan kualitas dan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Para oknum pelaku korupsi selama ini adalah mereka orang – orang bodoh. Meskipun dipandang dari segi akal dan latar belakang pendidikan mereka memiliki kualitas yang lebih, namun secara subtansial mereka tidak lebih dari kumpulan orang – orang bodoh. Kenapa disebut bodoh ? Mari kita renungkan, apakah orang yang tidak paham dan mengerti akan tugas, hak, dan kewajibannya bisa kita katakan dia sebagai orang yang pandai ?. Itulah yang terjadi pada mereka, oknum pelaku korupsi. Sebab itu, pemerintah harus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini. Dalam menerapkan metode pengajaran jangan lagi menggunakan metode jiplakan. Misal apa tugas DPR, atau Apa tugas MPR, dengan metode ini kita hanya diajarkan menjiplak tanpa memiliki perasaan dalam menerima pelajaran tersebut. Tapi beda halnya ketika kita menggunakan pertanyaan, apa yang kamu lakukan ketika kamu menjadi DPR atau MPR ? Dengan pertanyaan ini setiap individu akan memiliki pandangan berlainan, disesuaikan dengan apa yang dia rasakan, dia ketahui dan yang menurutnya harus diperbaiki. Metode ini mampu menumbukan kesadaran akan tugas, hak, dan kewajiban dalam mengemban amanah. Pemahaman secara subtansial harus diutamakan dari pada pemahaman – pemahaman formalitas belaka. Pemerintah juga dapat memasukan perihal korupsi ke dalam kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa itu korupsi, akibatnya, dan menumbuhkan rasa kebencian terhadap korupsi, sehingga kelurga koruptor tidak lagi leluasa dalam hidup bermasyarakat, di daerah maupun di kota, koruptor bagaikan juragan yang tak bersalah dan seringkali memberikan contoh gaya hidup mewah. Gaya – gaya hedon ditampilkan, dan penuh rasa bangga mengendarai mobil BMW ataupun sejenisnya hasil korupsi. Sementara di sisi lain, mereka orang golongan menengah kebawah merasa terkucil di daerah sendiri. Ini adalah salah satu yang menjadikan iklim sosial masyarakat di negara ini tidak harmonis.

Cukup sudah kerusakan – kerusakan yang ditimbulkan koruptor negeri ini. Mari kita bersama memeranginya mulai saat ini.

Thursday, March 8, 2007

Kisah Klasik Birokrasi


Aku Adalah Mahasiswa
Yang Kian Kecil Dilindas Birokrasi

aku adalah mahasiswa
yang harus duduk dilantai menunggu
Sang Kajur datang

aku adalah mahasiswa
yang harus menahan lapar dan melihat
Mereka kaum birokrat Jurusan makan
Dihadapan kami yang mengajukan tanda tangan

Dan jika hari ini kau perlakukan aku seperti ini
Aku senang dan bahagia
Karena kau telah menunjukan
Muka aslimu dihadapan ku, kaum didikanmu

Dan suatu kelak ketika ku duduk diatasan
Akan kubuang kelas sepertimu di pulau buru
Biar Kau 
Terasing dengan Sepi